Melihat Potensi Rajawali Mart di Antara Para Raksasa #Spirit212
lihat sumber gambar di sini |
RNI memang punya potensi besar di bisnis ritel. BUMN ini punya pengalaman lebih dari 50 tahun sebagai produsen consumer goods. Memproduksi teh, gula, minyak goreng, air mineral, beras hingga daging. Apalagi RNI juga memayungi anak usaha di bidang distribusi dan trading, yakni PT Rajawali Nusindo. Jadi, bisnis ritel ini bukan “mainan” baru bagi RNI.
Selama 30 tahun lebih, Rajawali Nusindo beroperasi di 48 provinsi, kota dan kabupaten. Mendistribusikan produk-produk BUMN, swasta hingga swasta asing seperti Unilever dan Philips. Kolaborasi pengalaman di bidang consumer goods, distribusi dan trading inilah yang menjadi modal bagi RNI untuk masuk lebih dalam lagi ke binis ritel.
Meski punya modal besar, RNI terbilang telat saat masuk ke bisnis mini market modern. Persaingan sudah sangat ketat. Ceruknya sudah terisi hingga ke pelosok negeri. Bisnis hilir yang digeluti RNI telah jauh hari didahului oleh Indofood saat menciptakan Indomaret (PT Indomarco Prismatama) tahun 1989. Mini market modern pertama di Indonesia itu lahir sebagai bagian dari hilirisasi produk Salim Grup (Indofood).
Sebagai pelopor mini market modern, Indomaret memilih strategi menyerbu dari kota hingga ke desa. Kini memiliki lebih dari 9.000 gerai yang tersebar di Tanah Air. Pola bisnis infiltrasi ini diikuti oleh Alfamart di era 2000-an. Kemudian seterusnya mulai dikuntit oleh peritel global seperti Circle-K, 7-Eleven dan Lawson.
Baru di tahun 2012 perusahaan-perusahaan BUMN masuk ke bisnis yang sama. Selain Rajawali Mart, ada Bulog Mart (Bulog) dan Postshop (PT Pos Indonesia). Jadi, boleh dibilang perusahaan BUMN telat mengantisipasi fenomena Indomaret-Alfamart. “BUMN punya potensi masuk ke bisnis ritel modern, namun memang benar sudah telat. Itu pun kalau boleh jujur, dari dua peritel modern BUMN yakni Bulog Mart dan Postshop, dikelola pemain yang itu-itu saja. Bulog Mart dikelola Indomaret, sedangkan Postshop oleh Alfamart,” ujar Dirut PT RNI, Hasan Ismed Putro.
Bukan Sekadar Mengejar Profit
Berdasarkan pengakuan Ismed, ada dua peritel besar yang sudah eksis coba melamar mengelola Rajawali Mart. “Tapi saya tolak. Jika menggunakan pengelola luar, karena alasan belum ada pengalaman, lalu kapan kami bisa punya pengalaman”, kata Ismed.
Setelah menolak pinangan tersebut, RNI memutuskan untuk membangun puluhan gerai dengan modal sendiri di awal. Kekuatan instansi pemerintah serta BUMN pun dikerahkan. Dari 87 gerai yang ada saat ini, tujuh di antaranya merupakan kemitraan koperasi Kementerian BUMN. Belakangan, seluruh Dapen BUMN, Koperasi BUMN terus dipepet untuk diajak bermitra.
Head Rajawali Mart, Ananto Widodo, mengatakan, dari model bisnis waralaba mini market modern yang ada sekarang, dibutuhkan setidaknya investasi yang sangat besar. Investasi Alfamart antara Rp 300-400 juta (tergantung rak, di luar sewa bangunan). Sedangkan Indomaret Rp 400 juta. Rajawali Mart mematok banderol Rp 200 juta-Rp 300 juta.
Besarnya investasi tersebut kerap menjadi momok bagi para calon mitra yang koceknya pas-pasan. Untuk mengatasi hal ini, beberapa bank BUMN diajak terlibat. Bank pelat merah yang sudah bersedia adalah BRI, sedangkan BNI akan menyusul memberi fasilitas Kredit Waralaba Rajawali Mart juga Waroeng Rajawali. Koperasi, pensiunan BUMN, hingga masyarakat luas bisa memiliki mini market sendiri melalui kredit.
“Skemanya kerja sama tripartit RNI-perbankan-investor. Pembiayaan mencapai 80% dari total investasi dengan angsuran selama 5 tahun dan suku bunga 1% di bawah kredit umum,” ujar Ananto Widodo. Strategi pembiayaan Inilah yang diklaim menjadi salah satu keunggulan waralaba Waroeng Rajawali. Kelangsungan bisnis mitra ditopang perbankan BUMN yang skala permodalannya sangat besar.
Masuk di pasar ritel modern yang sudah sedemikian ketat, menuntut RNI untuk tampil beda. Jika tidak, rasanya sulit memenangkan persaingan melawan brand kompetitor yang sudah terlanjur tersohor.
Ismed Hasan Putro mengklaim Rajawali Mart memang jelas berbeda dari peritel lain. Sebagai BUMN, bukan profit saja yang dikejar, namun ada misi besar yang diusung. Rajawali Mart adalah kepanjangan tangan pemerintah dalam mengontrol harga pangan, khususnya beras, minyak goreng, daging dan produk-produk ikan, teh, kopi, juga garam.
“Perlu diingat, dua peritel besar yang sudah merambah ke desa itu tidak murni dimiliki investor Indonesia. Artinya apa? Kita akan dipermainkan pasar global. Ini faktual, bukan asumsi,” katanya. Jika keberadaan Rajawali Mart sudah di atas 500, RNI berambisi melepas sepenuhnya franchise ke tangan masyarakat. Nantinya Rajawali Mart hanya akan menjadi titik distribusi bagi perusahaan BUMN-BUMN, untuk menyalurkan produk.
Sederet tawaran lainnya yang disajikan RNI yakni konsep waralaba yang tidak membebani mitra. Misalnya menghapus sistem bagi hasil pendapatan sewa ATM, back wall, tenant, dll. Dengan strategi-strategi tersebut, mitra diharapkan mengeruk profit dan RNI bisa tumbuh besar bersama masyarakat. Membuka Rajawali Mart, berarti ikut membangun negeri,” tutup Ismed. (sumber)
Menu Utama | Tentang Kami | Layanan Media Partner | Tukaran Link
loading...