Slide show

[mobil][slideshow]

Abon Ikan Tuna Ratna dari Aceh

Baca yang Lain

Sarat perjuangan nan melelahkan, tapi suatu saat ulat itu menjadi kepompong. Tak lama lagi, kepompong menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa. Menciptakan ketertarikan yang kuat. Syarifah memahaminya sebagai sesuatu yang kodrati. “Saya tak sabar menunggunya,” katanya.

Syarifah Ratnawaty Isa merupakan satu dari sekian banyak perempuan yang terjun ke dunia bisnis pasca tsunami di Aceh. Konsentrasinya pada pengelolaan ikan tuna. Ia membuat abon dari salahsatu komoditi laut tersebut. Bisnis di bawah payung Tuna Procession miliknya baru berjalan tiga tahun lebih. Tapi Syarifah punya mimpi besar.

Syarifah seorang pedagang kelontong awalnya. Ia menjual kebutuhan sehari-hari secara eceran sejak tahun 1991. Konsumennya adalah warga di sekitar kediamannya di Kampung Jawa, Banda Aceh. Labanya terbilang kecil. “Cukuplah membantu,” ujar Syarifah, 46. Suaminya, Abdul Jabar, 56, pensiunan TNI. Mereka bahagia dengan itu.

Tapi, kabahagian itu terenggut di akhir Desember 2004, tatkala air bah menggulung hampir 2/3 bagian Aceh. Dagangannya hanyut bersama lenyapnya lebih dari 200.000 ribu jiwa penduduk di sana. Porak-poranda. Tapi mereka selamat.

Selamat bukan berarti membuat Syarifah pupus semangat. Duduk termenung—traumatis pasti ada-bukan pilihan. “Kalau terus seperti ini, saya tidak akan hidup,” kenangnya. Dalam bayangannya, seharusnya ada sesuatu yang bisa dijadikan jalan. Ia teringat pernah mengikuti pelatihan membuat abon ikan saat ia masih remaja. Dinas Perindustrian Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1975 pernah menggelar pelatihan membuat kecap, abon dan sabun. Beberapa ilmu yang ia peroleh saat pelatihan masih melekat di ingatannya.

Usai tsunami, pemerintah dan lembaga kemanusian ramai menjulurkan tangannya. Yang kehilangan tempat tinggal, dibuatkan rumah. Nelayan yang perahunya hancur, diberikan perahu baru. Nah, yang memiliki keahlian usaha, dibantu permodalan. Syarifah masuk sebagai orang yang wajib menerima bantuan. Maka, pintu masuk pun terbuka. “Jadi saya berpikir yang paling gampang adalah bisnis pengolahan ikan,” katanya.

Saat itu, Asian Development Bank (ADB) menyatakan komitmennya membantu, tapi dengan syarat membuat kelompok usaha beranggotakan 11 orang. “Saya mengajak ibu-ibu di sekitar rumah saya. Saya bilang saya punya pengalaman dan berusaha keras meyakinkan mereka bahwa usaha ini akan berhasil,” tandasnya.

Setali tiga uang. Kelompok usaha tersebut pun akhirnya berjalan. Mulai menghasilkan, tentu. Tapi apes, beberapa bulan berjalan, anggota lain mulai ogah-ogahan. Roda mulai tak terkendali, Syarifah akhirnya bermain sendiri. Dia berusaha keras menjalankan kemudi bisnis. Syukur, di tangan Syarifah bisnis abon ikan tuna berjaya. Dia melabel bisnisnya dengan sebutan “Abon Ikan Tuna Ratna”. Ratna merupakan putri pertama dia.

Di awal-awal, kemasan abon cukup sederhana. Berbungkus plastik dengan secarik kertas kecil bertulis merk dagang dan alamat di dalamnya. Dia berpikir, kemasan akan mencitrakan sebuah produk. “Kalau kemasannya begitu-begitu saja, kapan konsumen tertarik,” pikirnya. Maka, pada akhir tahun 2007, Syarifah mencoba oret-oret desain kemasan, dibantu KKM (Klinik Kemasan dan Merk). Akhirnya, jadilah Abon Ikan Tuna Ratna dengan kemasan kotak 100 gram berwarna hijau. Di bagian atas kotak terdapat gambar topi khas Aceh dengan rencong di kanan-kiri. “Saya belum pernah ikut pelatihan kemasan,” sebutnya. “Tapi lumayan juga.”

Setelah kemasan baru, permintaan naik siginifikan. Saat kemasan plastik dengan netto 100 gram, rata-rata penjualan 100 plastik per bulan. Sejak berubah, naik menjadi 300 kotak. Kini, sudah menyentuh jumlah 400 kotak per bulan. “Target saya 600 kotak 2-3 bulan mendatang,” ujarnya.

Nah, seiiring dengan kemajuan yang dicapai, Syarifah merasa perlu mengubah lagi kemasan produknya. “Saatnya merah,” sebutnya. Menurutnya, warna hijau pada kemasan lama merupakan penggambaran bahwa bisnis ini masih pemula. Syarifah merasa dirinya sudah cukup matang. Mengibaratkan rambutan, merah menandakan bahwa buah tersebut siap dipanen. Dan Syarifah sudah siap untuk menjadi petaninya. Karena itu, dalam beberapa waktu terakhir Syarifah sibuk mengoret-oret kemasan di secarik kertas. Nantinya, dua rencong yang mendampingi topi khas Aceh, diubah. Jika dulu ujung rencong menghadap bawah, nanti akan ke atas. “Ini tanda saya siap bersaing di pasar bebas. Tunggu saja di tahun 2010 ini,” ceritanya. Tapi, isi kemasan tetap 100 gram.

Toh, meski tidak mengubah kemasannya, Abon Ikan Tuna Ratna sudah mendapat tempat di pasar. Sejak tahun 2006, ia sudah memiliki pelanggan tetap dari Kalimantan. Permintaan dari daerah itu juga meningkat, dari 10 kotak menjadi 50 kotak. Di Buki Tinggi, Sumatera Barat, seorang konsumen sudah berlangganan sejak April 2009, dan meminta orderan 30 kotak per minggu. Untuk Pulau Jawa, Syarifah harus menyediakan 60 kotak. Tapi, “di Medan belum ada pelanggan,” akunya. Untuk pasar Aceh sendiri, Syarifah sudah memasoknya ke lebih dari 40 toko souvenir dan supermarket. Kepada para pendatang, abon ini dipromosikan sebagai produk khas Aceh.

Untuk menyanggupi permintaan pasar yang terus naik dari waktu ke waktu, Syarifah harus mengimbanginya dengan ketersediaan bahan baku. Selama ini, ikan tuna ia beli di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Banda Aceh. Sedikitnya 4 keranjang (40-50 Kg) ikan tuna ia boyong untuk persediaan selama 1 bulan. Ia membelinya Rp15.000 per Kg. Ia dibantu 7 tenaga kerja.

Tapi kini, ia tidak harus memikirkan beban biaya jasa tukang sisik ikan. Selama ini, ia membeli ikan tuna dalam keadaan tanpa sisik. Dan untuk itu ia harus menyisihkan sekian ribu perak per kilogram. “Sekarang saya cukup membeli ikan saja,” tandasnya. Penyisikan ia lakukan sendiri.

Sepanjang 13-20 November 2009 lalu, ia mengikuti pelatihan membuat abon di Balai Besar Industri Bogor. Kepergiaannya dibiayai Disperindag NAD. Dalam pelatihan itu ia mendapat banyak ilmu, mulai dari teknik pengolahan ikan, pembuatan abon hingga pengemasan. Ilmu penyisikan ikan ia peroleh dari pelatihan itu. Beruntung, dalam pelatihan itu Syarifah mendapat prestasi yang bagus. Untuk itu, dia mendapat bantuan berupa mesin pengering abon dari penyelenggara pelatihan. “Sekarang saya tidak perlu menyangrai lagi di kuali, karena sudah ada mesinnya,” sebutnya.
loading...

Roket

[roket][stack]

Teknologi

[technology][grids]

Kapal Perang

[kapal][btop]