Jejak Armada Cheng Ho di Tanah Batak dan Mandailing
Hubungan antara pelayaran Laksamana Cheng Ho dengan kawasan Sumatera Utara bukanlah dongeng semata, tetapi merupakan bagian penting dari sejarah yang selama ini terabaikan. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa armada besar yang dipimpin oleh pelaut muslim Tionghoa tersebut bukan hanya singgah di pelabuhan besar seperti Palembang dan Melaka, tetapi juga mencapai pedalaman dan pegunungan Sumatera, termasuk wilayah Mandailing, Batak, Simalungun, dan Karo.
Laksamana Cheng Ho, yang bernama asli Ma Sanbao, dikenal dalam catatan Tiongkok dan dunia Islam sebagai seorang tokoh penting yang menyebarkan pengaruh budaya, perdagangan, dan Islam. Antara tahun 1405 hingga 1433, Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi laut ke berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara. Salah satu ekspedisi yang sangat menarik perhatian adalah ketika dia bersama armadanya memasuki wilayah barat Sumatera.
Dalam catatan sejarah, terutama dari penulis ekspedisinya seperti Ma Huan dan Fei Xin, disebutkan bahwa mereka menemukan sebuah kerajaan bernama Nagur di Aceh. Kerajaan Nagur juga ada di sekitar Simalungun, Batubara dan Asahan. Raja Nagur dikenal sebagai “Raja Muka Bertato”, atau dalam bahasa lokal disebut “Rajah Marhurei”. Penduduknya memiliki kebiasaan unik, yaitu merajah wajah dengan tiga panah hijau, sebuah ciri khas masyarakat dataran tinggi.
Kehadiran armada Cheng Ho ke wilayah tersebut tak hanya membawa barang dagangan dan teknologi maritim, tetapi juga unsur agama. Sejumlah pakar sejarah meyakini bahwa pengaruh Islam di daerah Mandailing, yang berkembang pesat pada abad ke-18, sejatinya telah memiliki akar sejak kunjungan armada Tiongkok dan dakwah dari orang-orang Arab melalui Barus, Natal dan Sungai Angkola di awal abad hijriyah. Mereka membawa serta ulama dan ajaran mazhab Hanafi yang perlahan menyatu dengan mazhab Syafi’i yang lebih dominan di Nusantara.
Nama-nama lokal seperti Singkuang di daerah Mandailing menunjukkan jejak Tionghoa yang menguat. Bahkan, dalam tradisi lisan, daerah ini disebut-sebut sebagai tempat persinggahan armada Tiongkok untuk mengambil kayu jati berkualitas tinggi. Singkuang sendiri diyakini erat kaitannya dengan pengaruh Cina, bahkan menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Marga Daulay.
Salah satu tokoh penting yang tercatat ikut dalam pelayaran Cheng Ho adalah Sultan Hussin Dzul Arsa dari Kerajaan Aru. Dalam catatan Dinasti Ming, namanya disebut sebagai Adji Alasa. Ia dikenal sebagai tokoh yang berangkat haji bersama Cheng Ho dan mengunjungi Peking, ibu kota kekaisaran Tiongkok saat itu.
Keturunannya masih menjadi bagian dari garis keturunan raja-raja Gontar di Deli Serdang. Raja Gontar sendiri saat ini dipegang oleh Marga Marpaung dan keturunan Sultan Hussin di Barumun bermarga Harahap (diperkirakan berasal dari kata Halak Arab oleh masyarakat Asahan).
Dari Silsilahnya Kerajaan Aru Barumun masih keturunan Samudera Pasai dengan silsilah berikut:
1. Sultan Malik Al Mansyur putera Malik al-Saleh (1299-1322) dari Samudera Pasai.
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361),
4. Sultan Sadik Al Quds (1361).
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407).
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459).
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512).
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523).
Menurut Prof Kong Yuanzhi dalam bukunya berjudul Muslim Tionghoa Cheng Ho. Ia menulis Usman Effendy menyebut Cheng Ho sebagai keturunan ke-37 Nabi Muhammad.
Dalam tulisan yang dikutip Kong Yanzhi, Usman Effendy menulis antara lain:
“Ahli sejarah itu bernama Prof. Haji Lie Shihou dalam literaturnya itu menemukan bukti bahwa moyang yang ke-11 dari Cheng Ho adalah utusan (duta besar) negeri Bokhari (Arab Saudi) yang bernama Sayidina Syafii dan Syafii adalah keturunan Rasulullah. Dengan demikian Sayidina Syafii adalah cucu ke-26 dari Nabi Muhammad Saw.”
Argumen penting yang diambil oleh Usman Effendy dalam tulisannya yang dimuat di harian Angkatan Bersenjata itu tak lain diambil dari literatur Li Shihou.
Dalam tulisannya, “Bukti-bukti Baru dari Mukadimah Silsilah Marga Cheng dan Silsilah Sayid Ajall” Li Shihou berpendapat bahwa Cheng Ho adalah keturunan Nabi Muhammad Saw. Bila Nabi Muhammad adalah angkatan pertama, maka Cheng Ho merupakan angkatan ke-37.
Argumennya antara alin dalam Mukadimah Silsilah Marga Cheng tercatat bahwa Suofeii-Er/Sayidina Syafii adalah Kaisar Kerajaan Bukhari.
Sementara itu Aru Barumun dan Samudera Pasai juga diyakini masih zurriyat Nabi SAW, khususnya pada raja-raja awalnya.
Silsilahnya sebagai berikut:
Sultan Zainal Abidin Ra Ubabdar bin Ahmad bin Sultan Ahmad Malikuzzahir bin Sultan Muhammad Malikuzzahir bin Sultan Malikus Saleh bin Meurah Makhdum Malik Ahmad (Raja Jeumpa) bin Meurah Makhdum Ahmad (Perdana Menteri Jeumpa, di Samarlanga) bin Meurah Makhdum Malik Ibrahim (Raja Jeumpa) bin Meurah Makhdum Malik Masir (Raja Linge) bin Meurah Makhdum Malik Isak (Raja Linge) bin Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah bin Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Amin Syah (Sultan Perlak VI) bin Sultan Makhdum Alaiddin Abdulkadir Syah (Sultan Perlak V) bin Meurah Makhdum Ahmad (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak 2 Alaiddin
Abdurrahim Syah) bin Meurah Makhdum
Bahrum (Perdana Menteri Perlak era Sultan Alaiddin Maulana Sayyid Abdul Aziz Sya) TOK Sultan Alaiddin Maulana Sayyid Abda! Azizingpride Syah bin Ali Al Muktabar bin Muhammad Ad Dibaj bin Imam Ja'far Shidiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin As Sajjad bin Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.
Kembali ke topik, Kerajaan Aru juga terkait dengan masyarakat Karo dan Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir sekarang. (menurut Sejarah Melayu)
Pada tahun 2024 lalu, sebuah masjid yang diberi nama Masjid Muhammad Cheng Ho diresmikan di Desa Jaranguda, Kecamatan Merdeka. Masjid ini menjadi simbol nyata akan hubungan historis yang panjang antara masyarakat Karo dan Batak keturunan Pusuk Buhit dengan Islam Tionghoa.
Peresmian masjid ini dihadiri berbagai tokoh penting termasuk Kapolres Tanah Karo, perwakilan Kementerian Agama, serta tokoh-tokoh ormas Islam seperti Hidayatullah dan PITHI Medan. Hadir pula Dr. Syahrial Purba sebagai pewakif masjid, menunjukkan bahwa masyarakat lokal menyambut baik simbol sejarah ini.
Masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol pengakuan sejarah bahwa hubungan antara Tanah Karo dan Tionghoa muslim bukanlah hal baru, melainkan telah terjalin sejak lebih dari 600 tahun silam. Upaya ini menjadi bagian dari pelestarian jejak peradaban yang pernah singgah dan membentuk identitas lokal.
Masyarakat Batak, khususnya dari Simalungun dan Mandailing, diketahui memiliki tradisi kuat yang tidak terlepas dari nilai spiritual dan simbolik. Maka tidak heran bila pengaruh budaya dan keagamaan yang dibawa oleh Cheng Ho bisa diserap dalam bentuk adaptasi lokal yang khas dan bertahan hingga kini.
Peneliti sejarah Slamet Muljana mencatat bahwa Laksamana Cheng Ho membentuk komunitas Muslim Tionghoa di berbagai tempat termasuk Palembang dan pesisir Jawa. Besar kemungkinan model serupa juga dilakukan di pesisir barat Sumatera, termasuk wilayah-wilayah yang kini menjadi bagian dari Sumatera Utara.
Meskipun pengaruh mazhab Hanafi lambat laun menyatu dengan mazhab Syafi’i, jejak awalnya tetap tercatat dalam struktur komunitas dan tradisi lisan. Bahkan, beberapa istilah dalam bahasa Batak dan Mandailing diyakini berasal dari percampuran bahasa Melayu dan Cina kuno.
Kisah tentang Raja Nagur dan masyarakat bertato tiga panah hijau juga memberikan indikasi kuat bahwa catatan pelayaran Cheng Ho menyentuh masyarakat pedalaman. Hal ini menunjukkan bahwa ekspedisinya tidak sekadar misi perdagangan, tetapi juga eksplorasi budaya dan diplomasi tingkat tinggi.
Fakta-fakta ini seharusnya mendorong penulisan ulang sejarah lokal dengan pendekatan yang lebih terbuka terhadap pengaruh lintas budaya. Selama ini sejarah Batak dan Mandailing lebih banyak dipahami dari lensa kolonial atau misionaris, tanpa menelusuri jejak hubungan global sebelumnya.
Hubungan lintas bangsa dan agama yang dibangun oleh Laksamana Cheng Ho menawarkan inspirasi toleransi, keterbukaan, dan kemajuan dalam kerangka multikultural yang harmonis. Kehadirannya di Nusantara, termasuk di Tanah Batak, adalah bukti bahwa peradaban besar pernah bertemu dan berdialog di sini.
Kini, dengan kehadiran simbol-simbol seperti masjid Cheng Ho di Karo dan pengakuan jejak sejarah Tionghoa muslim di Mandailing serta Deli Serdang, kita diingatkan kembali bahwa sejarah Indonesia tidak pernah berjalan sendirian. Ia dibentuk dari pertemuan banyak bangsa, termasuk armada besar dari Tiongkok pada abad ke-15.
Sudah waktunya bagi dunia pendidikan dan akademisi lokal untuk menggali lebih dalam dan menempatkan kisah Cheng Ho bukan hanya sebagai cerita pelaut, tetapi sebagai bagian integral dari sejarah awal pembentukan identitas Sumatera Utara. Jejak itu masih hidup, dan kini tengah bangkit kembali dari ingatan yang lama tersembunyi.
Dibuat oleh AI, lihat info lainnya



