Jejak Emas Orang Pariaman di Lahan Kuda Tanah Batak
Industri peternakan kuda di Sumatera Utara ternyata memiliki akar sejarah yang panjang dan menarik. Jauh sebelum kuda menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, wilayah ini telah menjadi pusat perlintasan budaya dan perdagangan. Salah satu komunitas yang tercatat berperan penting dalam sejarah peternakan dan perdagangan kuda di Sumut adalah masyarakat Pariaman dari Sumatera Barat.
Banyak ahli sejarah meyakini bahwa kuda telah hadir di tanah Batak sejak abad pertengahan. Sejumlah teori bahkan menyebutkan bahwa kemunculan kuda di Sumatera bisa jadi berkaitan dengan ekspedisi orang-orang Mongolia (Dinasti Yuan Tiongkok) yang sempat menginjakkan kaki di Nusantara pada abad ke-13. Melalui rute perdagangan dan pertempuran, kemungkinan besar kuda mulai tersebar ke wilayah barat Indonesia, termasuk daerah dataran tinggi Batak.
Orang-orang Pariaman, yang dikenal sebagai saudagar ulung sejak abad ke-15, tampaknya melihat potensi besar di dataran tinggi Sumut. Mereka bukan hanya sekadar datang sebagai pedagang, tetapi juga menetap dan menjadi bagian dari komunitas peternak kuda di daerah seperti Padang Lawas, Toba, Samosir, hingga Humbang Hasundutan. Peran mereka tidak hanya ekonomi, tapi juga sosial dan budaya.
Dalam berbagai catatan lokal dan laklak kuno seperti Pustaka Alim Kembaren, ditemukan bukti bahwa sejumlah marga Batak memiliki leluhur yang berasal dari Pagaruyung dan sudah terkoneksi dengan Mekkah, laklak itu berkaitan dengan marga Kembaren, Silalahi dll. Migrasi ini bukan hanya mengusung ilmu dagang dan agama, tetapi juga membawa serta keterampilan beternak, termasuk peternakan kuda. Salah satu nama dalam tarombo marga dengan ciri khas peternak disebut sebagai parmahan, yakni kelompok yang memiliki keterampilan dan tradisi dalam memelihara serta memperdagangkan kuda.
Nama 'parmahan' sendiri diyakini merupakan bentuk adaptasi budaya antara pendatang Pariaman dan masyarakat lokal Batak. Identitas ini memperlihatkan betapa dalamnya pengaruh para perantau dari Sumatera Barat yang berhasil berasimilasi dan membentuk lapisan baru dalam masyarakat Batak, khususnya dalam sektor peternakan kuda.
Hingga kini, jejak-jejak peternakan kuda masih terlihat di beberapa wilayah dataran tinggi Sumut. Di Humbang Hasundutan misalnya, ditemukan bekas kandang-kandang tua serta tarombo marga yang memiliki sejarah erat dengan perdagangan dan pemeliharaan kuda. Ini menjadi penanda nyata bahwa kuda pernah menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Batak.
Lebih dari sekadar alat transportasi, kuda dalam budaya Batak memiliki peran multifungsi. Selain menjadi binatang pacuan dan komoditas perdagangan, kuda juga digunakan dalam ritual adat, termasuk suksesi raja bius dan upacara kepercayaan lokal. Di Humbang Hasundutan, kuda adalah simbol kekuatan dan status sosial. Wilayah Dolok Sanggul dan Siborongborong dulunya merupakan sentra peternakan kuda.
Harry Marbun, seorang warga Desa Sihorbo Tanjung, masih mengingat kisah yang dituturkan oleh kakeknya, Patut Marbun. Di tahun 1970-an, mereka menggunakan kuda untuk mengangkut hasil bumi dan babi ke pasar Dolok Sanggul. Dalam cuaca dingin dan gelap menjelang dini hari, mereka memulai perjalanan panjang menuju pekan besar yang menjadi pusat ekonomi masyarakat setempat. (lihat link di bawah)
Pekan Onan di Dolok Sanggul saat itu menjadi magnet perdagangan, tak hanya bagi warga lokal tetapi juga para pedagang dari luar daerah. Kuda menjadi alat vital untuk mobilitas dan logistik. Bahkan hasil bumi seperti kemenyan, yang terkenal hingga ke mancanegara, diangkut dengan kuda menuju Barus, kota pelabuhan rempah-rempah sejak berabad-abad lalu.
Aktivitas ini mengingatkan pada catatan sejarah yang ditinggalkan pelaut Portugis Tome Pires pada awal abad ke-16. Dalam Suma Oriental, ia mencatat adanya lalu lintas perdagangan antara India, Pariaman, Tiku, dan Barus. Kuda dari wilayah Batak dibawa oleh orang Pariaman ke Tanah Sunda, menandakan sudah adanya rantai distribusi yang melibatkan Sumatera Utara sebagai sumber utama.
Ketika Belanda dan Inggris mulai menjelajahi pesisir barat Sumatera pada abad ke-17, Pariaman menjadi salah satu pelabuhan entrepot utama. Para saudagar Pariaman telah mengembangkan jaringan perdagangan hingga ke pedalaman Batak, memanfaatkan kuda sebagai moda transportasi dan objek dagang.
Perdagangan ini bukan hanya soal nilai ekonomi, tetapi juga pertukaran budaya. Orang Pariaman yang dikenal religius dan banyang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, membawa serta nilai-nilai Islam dan memperkenalkannya ke wilayah-wilayah baru, termasuk sekitar Danau Toba. Mereka menjadi pelopor pembukaan peternakan awal yang kini menjadi desa-desa produktif.
Eksistensi komunitas perantau dari Pariaman di Sumut membuktikan bahwa sejarah daerah tidak pernah berdiri sendiri. Ada interaksi antar budaya yang membentuk fondasi sosial dan ekonomi masyarakat saat ini. Peternakan kuda hanyalah satu dari sekian banyak warisan yang mereka tinggalkan.
Kini, meski fungsi kuda mulai tergantikan oleh kendaraan modern, nilai sejarah dan budaya yang ditinggalkan tetap hidup dalam memori kolektif masyarakat Batak. Tradisi berkuda, kisah tarombo parmahan, dan bekas jalur dagang lintas provinsi menjadi cermin sejarah yang tak ternilai.
Menghidupkan kembali narasi ini adalah upaya penting untuk menyambungkan benang sejarah yang pernah terlupakan. Lebih dari sekadar nostalgia, ini adalah penghormatan terhadap kontribusi orang Pariaman dan masyarakat lokal Batak dalam membangun peradaban Sumatera Utara dari jalur yang kadang tak terjamah oleh arus utama sejarah Indonesia.
https://buntomi.wordpress.com/2020/03/09/kuda-batak-riwayatmu-kini/
https://www.google.com/amp/s/sumbar.antaranews.com/amp/berita/132589/sejarah-pariaman
loading...



