Jejak Harta Umat dari Kerajaan ke Republik
Dalam lembaran panjang sejarah Indonesia, jejak peran umat Islam dalam urusan ekonomi dan perjuangan kemerdekaan terukir dengan jelas. Dari masa kerajaan hingga era republik modern, harta umat Islam kerap menjadi penyokong kekuatan politik dan sosial bangsa. Sayangnya, tidak semua peninggalan itu terdokumentasi secara terbuka hingga ke generasi sekarang.
Salah satu kisah monumental adalah ketika Sultan Hamengkubuwono IX menyumbangkan 65 juta gulden untuk menopang keuangan Republik Indonesia pasca-proklamasi. Jumlah yang fantastis di masa itu, jika dikonversi ke rupiah saat ini, setara dengan triliunan. Sumbangan itu bukan saja simbol loyalitas, tetapi juga bentuk pengorbanan yang amat besar dari lingkungan kesultanan Yogyakarta.
Tak kalah legendaris, Sultan Siak Indrapura juga menghibahkan kekayaan hingga 13 juta gulden. Uang itu menjadi modal awal negara yang baru merdeka ini bertahan di tengah embargo dan tekanan internasional. Catatan ini tersembunyi dalam sejarah resmi dan hanya diakses oleh segelintir kalangan hingga saat ini.
Selain dari kerajaan, masyarakat sipil pun tak ketinggalan. Masyarakat Minangkabau melalui gerakan kaum ibu pernah menjadi pelopor pengumpulan dana untuk membeli pesawat pertama Indonesia. Gerakan ini kemudian diikuti komunitas Aceh yang juga menyerahkan emas dan dana besar ke pemerintah pusat.
Harta umat ini, dalam bentuk surat berharga, kemudian dikelola oleh pemerintah dan sebagian besar dioperasikan oleh maskapai Garuda serta TNI AU. Sayangnya, tidak banyak publikasi resmi tentang perkembangan dan keberadaan surat-surat berharga tersebut di era sekarang.
Di era pasca-Jepang, berdirilah Masyumi yang kemudian menjadi kekuatan politik sekaligus ekonomi umat Islam. Aset dan ideologi Masyumi hingga kini masih terlihat jejaknya dalam ormas besar seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Parmusi, hingga DDII. Secara politik, warisan ide Masyumi diusung oleh PPP, Partai Bulan Bintang, dan beberapa partai Islam lainnya.
Begitu pula aset-aset organisasi Islam masa kolonial seperti Sarekat Islam. Walau namanya meredup, jejak ekonominya diyakini masih terdistribusi di antara organisasi keturunannya hingga saat ini. Dokumentasi resmi tentang aset-aset ini pun belum banyak tersedia di ranah publik.
Memasuki era Orde Baru, umat Islam kembali membangun basis ekonomi mandiri. Lahirnya Bank Muamalat, Republika, hingga Dompet Dhuafa menjadi tonggak penting. Bank Muamalat yang kini sebagian sahamnya dimiliki Ilham Habibie, terus tumbuh dengan dukungan kader Muhammadiyah di jajaran manajemennya.
Republika yang awalnya menjadi corong media Islam, kini dimiliki grup usaha Mahaka milik Erick Thohir. Kendati berubah secara kepemilikan, karakter karyawan dan orientasi medianya tetap banyak diwarnai kader Muhammadiyah dan kalangan intelektual Islam.
Dompet Dhuafa, salah satu lembaga sosial besar, kini mengelola triliunan aset dalam bentuk rumah sakit, pusat pendidikan, dan fasilitas sosial lainnya. Lembaga ini lahir dari gagasan eks-karyawan Republika yang ingin mempertahankan idealisme sosial-keumatan.
Di masa Presiden Jokowi, muncul KS212, gerakan ekonomi berbasis ritel yang tumbuh dalam konteks politik sosial umat. Walau tidak resmi di bawah pemerintah, banyak tokohnya kini menduduki jabatan strategis, termasuk KH Ma’ruf Amin yang sempat menjadi penasihat utamanya sebelum menjabat wakil presiden.
Tak ketinggalan, dana umat paling besar di era modern terletak di tangan pemerintah lewat dana haji. Saat ini dana tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan nilai yang terus meningkat setiap tahunnya, menjadi salah satu dana umat terbesar di Indonesia.
Selain itu, gerakan ekonomi lokal berbasis keumatan yang bersifat kedaerahan masih banyak berjalan di berbagai daerah. Baik lewat koperasi syariah, Baitul Maal, maupun kegiatan zakat dan wakaf yang menghidupi ribuan pesantren dan masjid.
Namun ironisnya, tidak semua aset umat tersebut tercatat rapi dan transparan. Sebagian di antaranya bahkan diduga telah berpindah tangan ke pihak swasta, elite politik, dan korporasi nasional tanpa jejak dokumentasi yang bisa diakses publik.
Jejak harta umat ini sebenarnya merupakan catatan penting sejarah ekonomi nasional. Sayang, minimnya penelitian akademis dan data terbuka membuat narasi ini lebih sering menjadi cerita lisan di kalangan elite agama, pengusaha, dan tokoh politik ketimbang menjadi pengetahuan umum.
Dengan makin besarnya kesadaran publik atas pentingnya kedaulatan ekonomi umat, sejumlah kalangan mulai mendorong agar aset-aset lama itu ditelusuri kembali. Mereka berharap, dana dan properti warisan perjuangan itu bisa kembali dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat secara luas.
Kini, sejarah harta umat bukan hanya soal angka dan nama besar, tapi juga tentang bagaimana bangsa ini menghargai warisan para pejuang terdahulu. Transparansi pengelolaan aset umat menjadi tugas bersama agar kekayaan itu benar-benar kembali untuk kepentingan umat dan bangsa.
loading...



